Senin, 26 November 2012

Dunia Fotografi


Dunia fotografi benar-benar membuat saya lebih banyak melihat dari sudut yang berbeda. Bukan hanya sudut bidik subject untuk di foto saja, lebih dari itu, kita menghargai sudut kehidupan yang tidak dilihat oleh masyarakat umum. Orang awam sering menilai aneh  melihat seorang fotografer, ketika  mencari subject buruannya. Kadang mereka berada di sampah, di pasar, dipinggir sungai, di tempat yang kumuh di jalan dan dimana saja yang mungkin dalam keseharian masyarakat tidaklah begitu penting dan cantik untuk di potret, tapi begitulah dunia fotografi.

Pada umumnya masyarakat menilai hobby fotografi merupakan hobby yang sangat mahal, karena harus memiliki kamera canggih dengan harga mahal. Padahal dunia fotografi tidak harus memiliki gear yang canggih. Bagi yang mempunyai permasalahan dengan dana anggaran, untuk sekarang ini banyak kamera canggih dijual dengan harga sangat terjangkau, bahkan beberapa toko menawarkan program cicilan. Jadi yang paling penting itu adalah sebuah karya fotografi, bukan gearnya. Gear hanya merupakan alat, sedangkan karya dan konsep berada di kepala, yang kita bebas untuk berkretifitas.

Hal yang membuat saya lebih memahami foto sebenarnya setelah saya bergabung dengan RKF (Rumah Kayu Fotografi-Bandung), sebuah komunitas yang berisi orang-orang yang luar biasa dalam karya tapi bersahaja dalam sikap. Bukan hanya itu saja, seperti bak ilmu padi yang makin berisi makin merunduk. Komuitas yang berasal dari kota Bandung ini ternyata beranggotakan bukan hanya di Indonesia saja. Yang tinggal diluar negeri juga merasakan keakraban, kehangatan dalam kekeluargaan yang bersahaja.

Komunitas ini juga bukan ajang memamerkan gear, justru sebaliknya mereka memaksimalkan hasil karya cipta meski memakai kamera poket yang sederhana. Di samping itu juga ide kreatif pada saat eksekusi memotret dan mengasah instink dengan selalu mencoba dan mencoba diajarkan kepada membernya. Dengan konsep belajar tanpa menggurui atau pamer alat, komunitas ini diterima disemua kalangan. Pelajaran yang paling baik adalah seringnya mencoba dan mengeksplorasi konsep kreativitas. Sehingga dengan banyak mencoba akan menemukan sesuatu yang baru dan menemukan karakter dan konsep foto kita.  (Zen Shinoda)





Sabtu, 17 November 2012

Jazz Traffic Festival Semarang


Jazz Traffic Festival yang diselenggarakan oleh Djarum Super Mild Semarang ini merupakan Festival Jazz bersekala Internasional yang diselenggarakan di Balai Kota Semarang. Pada acara festival kali ini, sejumlah bintang jazz kenamaan berasal dari negeri Samba, gitaris Toninho Horta yang dijuluki Brasilian Jazz Ambassador akan berkolaborasi dengan Dwiki Dharmawan, musisi Indonesia.

Musisi lainnya yang juga ikut memeriahkan acara di antaranya penyanyi Sierra Soetedjo, Maliq D`essentials, gitaris jazz blues Donny Suhendra, Mr D and Tarraz Blues, New Season, Reunion, Pofferjes dan Komunitas Jazz Ngisoringin, serta Komunitas Jazz Lampung.

Kalau dahulu penikmat musik Jazz kebanyakan orang tua, tapi sekarang animo masyarakat muda Semarang sangat luar biasa. Generasi muda Jazz Indonesia dan komunitas-komunitas Jazz kita sangat berkembang. Salah satunya Komunitas Jazz Ngisor Ringin Semarang, nama komunitas ini yang tak asing lagi karena, karena biasanya mereka melakukan perfomance sebulan sikali di RRI Semarang. Sebelum di RRI mereka performance di Kalosi Kopi Sisingamangaraja.

Pada Jazz Traffic Festival kali ini terdapat 2 stage dengan tata lampu yang spektakuler. Acaranya yang dilaksanakan Sabtu, 17 November, di Halaman Balai Kota Semarang pukul 16.00 WIB hingga pukul 23.30 WIB ini mendapat sambutan penonton yang luar biasa banyak. Kaum muda memenuhi halaman Balai Kota Semarang. Dengan tiket masuk sebesar Rp. 50.000,- rasanya sangat pantas dengan suguhan musik Jazz yang bersekala Internasional yang luar biasa.









All Photo by Zen Shinoda


Rabu, 07 November 2012

Hunting di Pasar Gawok



Pasar Gawok merupakan pasar tradisional tertua di Sukoharjo, tempat favorit bagi para fotografer untuk hunting HI disini. Keramahan penduduk pasar menjadikan pasar tradisional ini sangat unik untuk di potret aktivitasnya. Bagi yang hobby kuliner, pasar Gawok menyajikan aneka jajan pasar tradisional yang harganya sangat murah. Saya sempat berfikir dari mana mereka dapat untung jika makanan yang mereka jajakan dibawah harga pasar tradisional lain. Supaya lebih penasaran berikut ini daftar kuliner yang patut kita coba di pasar Gawok : Soto Kwali Bu Ndari, sate kambing Pak Harno, Tahu Kupat, Mie Ayam & Bakso Pak Bejo
Es Buah Yu Yami, Pohong Alus / Gethuk (merupakan ciri khas Pasar Gawok, Kare dan masih banyak lagi jajanan pasar yang langka ditempat lain.

Saya belum mendapatkan literatur yang valid tentang kapan berdirinya pasar Gawok. Berdasarkan selentingan-selentingan orang-orang pasar, pasar Gawok sudah ada sejak jaman kerajaan. Pasar tradisional yang terletak di dusun Gawok, desa Geneng, kecamatan Sukoharjo, Jawa Tengah ini berada disekitar 2km dari Stasiun Kereta Api Gawok, 10km sebelah selatan kota Solo, 15km dari Klaten, dan 10km dari Solo Baru. Untuk akses menuju pasar Gawok sendiri saat ini sudah tidak ada jalur angkutan umum yang langsung menuju pasar Gawok sejak tidak dioperasikannya lagi Rute Bus SKA Jaya yang melalui pasar Gawok. Namun bagi Anda yang ingin mengunjungi pasar Gawok selain menggunakan kendaraan pribadi,kita dapat menggunakan kendaraan umum dari terminal Kartosuro naik bus PO. Sendang Mulyo turun di Stasiun Gawok kemudian melanjutkan perjalanan dengan ojek atau becak menuju pasar Gawok.

Alternatif lain untuk menuju pasar Gawok dapat kita tempuh dari Terminal Tirtonadi Solo naik bus jurusan Daleman/Baki, turun di termianl Daleman atau di samping POM Bensin Baki, kemudian melanjutkan perjalanan dengan ojek.

Mengingat Gawok merupakan pasar tradisional sejak jaman dulu, aktivitas pasarnyapun untuk di los tidak tiap hari. Mereka hanya beroperasi setiap PON dan LEGI. Kebetulan pas kita kesana selesai meliput Matah Ati bersama RKF yang paginya pas dengan pasarannya, jadi seperti pepatah "keberuntungan hanya milik fotografer" hehehe maksa boss...

Hunting dipasar Gawok kali ini masih bersama teman-teman Rumah Kayu Fotografi (RKF) Bandung. Masih dalam formasi lengkap dari Jatim, Jateng, Jabar dan DKI, kami berburu Human Interest sembari main candid antar fotografer itu sendiri. Suasana akrab dan gembira terlihat dari masing-masing fotografer. Kami berangkat pagi sekali sekitar pukul 06:30 dimana suasana pasar belum rame. Satu persatu pedagang menjajakan dagangannya, aktivitas ini sangat unik karena biasanya pasar hanya sebagai tempat berjualan saja akan tetapi pasar Gawok juga sebagai tempat produksi pandai besi. Berbagai peralatan pertanian dan peralatan dapur di buat disitu seperti cangkul, sabit, kampak dan lainnya.

Selain kuliner, hewan, dan sesuatu yang unik di luar pasar dekat jembatan juga ada yang jual sepeda tua dan aksesoris tuanya. Saya melihat Pak Fendi membeli sedel Gizele, sedel untuk sepeda tuanya. Saya tertarik memotret setiap detail dan bagian aksesoris sepeda tua, karena selain unik dulu pernah pengen sepeda tua pas masih tugas di Kebumen sampai sekarang belum keturutan.

Sekitar pukul 10:00 semua teman istirahat di belakang kios pasar, terlihat pak Mohamad Setiawan sedang bercukur rambut sama bapak-bapak tukang cukur. Hasil guntingannyapun tidak kalah sama salon yang ada di Jakarta langganan pak Mohamad Setiawan. Beberapa fotografer narsis-narsisan sambil istirahat, suasana ceriapun nampak diwajah mereka. Sehabis pak Mohamad Setiawan bercukur, kita ngobrol dengan bapak-bapak tukang cukur tersebut. Sampai pak Fendi dan pak Paul datang dan menjadikan tukang cukur tersebut sebagai model. Lucu memang tapi sangat menggembirakan suasana saat itu, karena ternyata fotojenik juga bapak tukang cukur tersebut. Sampai akhirnya kita bubar melanjutkan hunting di Kauman dan berpisah dengan rombongannya pak Paul dan tante Mei Adisuko.

Bagi para fotografer yang hobbynya nyetrit, pasar Gawok merupakan tempat yang rekomended untuk di singgahi. Tapi ingat aktivitas mereka hanya di PON dan LEGI, karena selain hari pasaran itu los pasar akan kosong dan kita tidak akan mendapatkan moment menarik. Selamat nyetrit..


































Narasi dan Foto : Zen Shinoda





Selasa, 06 November 2012

Matah Ati


Matah Ati merupakan sendra tari kolosal yang sangat spektakuler di Mangku Negaran Surakarta. Sebelum di Surakarta Matah Ati pernah pentas di Esplanade Singapore dan Taman Ismail Marzuki Jakarta. Sebenarnya saya tidak begitu mengerti tentang jalan ceritera Matah Ati ini, informasi pertunjukan saya dapatkan dari Rumah Kayu Fotografi (RKF) sebuah komunitas fotografi di Bandung. Kebetulan waktu itu Pak Fendi sebagai sesepuh komunitas tersebut mengajak untuk meliput event akbarnya.

Bersama dengan pasukan RKF saya meliput pagelaran kolosal tersebut. Titik kumpul temen-temen RKF dirumah om Ivan M Avandi Solo. Karena beliaulah yang berjasa dalam akomodasi dan pelayanan kekerabatan. Karena event ini pula anggota RKF dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan DKI bisa berkumpul. Saya merasakan keakraban dan kekeluargaan yang luar biasa.

Kita diberi kesempatan oleh Pak Fendi untuk meliput secara mulai dari gladi bersih sampai pertunjukan puncaknya di hari terakhir. Acara Matah Ati dari tanggal 8 - 10 September 2012. Pada peluputan gladi bersih hanya 5 orang dari RKF, saya, Pak Fendi, teh Inong Hunain, om Ivan M Avandi dan pak Mohamad Setiawan.

Pada saat peliputan gladi bersih kita bebas memilih tempat sudut bidik yang sangat fleksibel, karena tidak ada penonton. Begitu pembukaan gladi bersih dimulai baru saya terkagum-kagum akan tata cahaya, panggung, musik dan tari yang sangat sempurna. Art director Matah Ati ini adalah Jay Subyato, seseorang yang tak asing lagi di dunia kreatif Indonesia. Beliaulah yang berjasa memberikan kami tiket liputan secara gratis pada saat pertunjukan di kelas Festival.

Dipuncak pertunjukan kelas Festival merupakan tempat yang paling nyaman bagi fotografer. Karena disamping gratis Jay ternyata sudah memperhitungkan sudut bidik dari berbagi angel. Dengan tata panggung yang lantainya dibuat miring kedepan membuat formasi penari bisa terlihat secara maksimal oleh penonton, meski dengan sudut bidik yang rendah. Tata panggung yang spektakuler dengan evek tata cahaya yang sempurna, dipadukan lagi evek burning pada saat perang membuat kita benar-benar terhanyut dalam suasana. Meski pada saat liputan saya masih bertanya-tanya tentang jalan cerita dari sendra tari kolosal ini. Sampai akhirnya saya mencari sinopsis dari ceritera Matah Ati.

Matah Ati adalah sebuah kisah nyata tentang cinta dan perjuangan di Tanah Jawa pada Abad 18. Matah Ati adalah cerita perjuangan dan perjalanan cinta seorang wanita biasa bernama Rubiyah yang berjuang melawan penjajah bersama dengan Raden Mas Said yang dijuluki sebagai Pangeran Smabernyowo. Perjuangan yang panjang melawan VOC dan dinamika serta intrik keraton pada waktu itu, membuat kisah ini abadi sepanjang hayat. Dengan pasukan wanitanya yang gagah berani, Matah ati mendampingi perjuangan Raden Mas Said dan pasukannya. Kisah cinta mereka menjadi cikal bakal istana Mangkunegaran dan keturunannya. Nasionalisme dan solidaritas nampak di semboyan peperangan yaitu TIJI TIBEH, MUKTI SIJI MUKTI KABEH, MATI SIJI MATI KABEH peperanganpun berjalan dengan sengit.

Matah Ati mengisahkan perjalanan dan perjuangan cinta yang terjadi di Jawa pada abad ke-18 tentang gadis desa bernama Rubiyah. Beliau kemudian menjadi bagian dalam masa perjuangan R.M.Said melawan penjajahan Belanda di tanah Jawa dimana ia menarik perhatian seorang ksatria ningrat Jawa yaitu R.M. Said yang juga dikenal Pangeran Sambernyowo yang kemudian jatuh cinta kepadanya.

Hingga 16 tahun peperangan dan pemberontakan usai dengan kekalahan lawan, maka jadilah Raden Mas Said menjadi Raja bergelar Mangkunegara 1 dan Rubiyah menjadi istri dengan nama RAY KUSUMA MATAH ATI karena lahir di desa Matah dan bisa juga diartikan ‘Melayani hati sang pangeran’, melalui beliaulah turun generasi raja-raja Mangkunegaran.

Raden Mas Said adalah cucu dari Amangkurat 4, pada waktu itu hasil dari peperangan dan pemberontakan akhirnya menghasilkan perundingan yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Perundingan perdamaian itu menjadikan kerajaan di Jawa terbelah menjadi empat yaitu Kasultanan Jogjakarta dan Pakoealam Jogjakarta serta Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran Surakarta (Solo). Cerita indah ini dirajut dengan tema cinta, belas kasih, keberanian, keputusasaan dan sukacita.

‘Matah Ati’ menampilkan keagungan dan perjuangan wanita serta merupakan suatu fakta historis bahwa pada abad ke-18 sudah ada pejuang- pejuang wanita yang tangguh untuk menumpas keangkara murkaan dan ketidakadilan. Dengan kata lain, peran Rubiyah tidak hanya menjadi seorang istri/ibu yang selalu berada di wilayah urusan domestik (rumah tangga) dan wanita tani yang bisa menarikan tarian Jawa, seperti Srimpi, Bedaya dan lain-lain, melainkan juga mampu mendampingi R.M.Said dalam memimpin perang serta memimpin 40 prajurit wanita di medan perang layaknya laki-laki.

Berikut ini liputan gladi bersih sendra tari Matah Ati di Mangku Negaran Surakarta.

3D Panggung Matah Ati

Lay Out Panggung, Tamu dan area Fotografer

Tiket Gratis di Kelas Festival

Gladi Resik Matah Ati

Keputrenan

Efek Api pada Perang Jawa

Perang Jawa

The Spectacular Lighting



Jay Subyakto dan Anaknya (sang Art Director)

Penari Matah Ati

Bersama pak Mohamad Setiawan, Om Ivan M Afandi, teh Inong Hunain dan Pak Fendi